Beritabanten.com – Mantan Direktur Utama PT Serang Berkah Mandiri (SBM), Setiawan Arief Widodo (SAW), didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait kegiatan usaha tambang pasir ilegal senilai Rp1,2 miliar.  

PT SBM, yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemkab Serang, sebenarnya tidak memiliki izin atau core business di bidang pertambangan.   

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang, Endo Prabowo, menyatakan bahwa Setiawan diduga memperkaya diri sendiri dan orang lain, termasuk saksi H Langlang T. Gusatyo, sebesar Rp683 juta.    

“Terdakwa memperkaya diri terdakwa dan atau orang lain, yakni saksi H Langlang T. Gusatyo sebesar Rp683 juta,” ungkap Endo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Serang, Senin (18/11/2024).   

Setiawan didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 9 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Kronologis Kasus

Proyek tambang pasir ilegal tersebut bermula pada Juli 2015, saat Direktur Operasional PT SBM, Iman Nur Rosyadi, diminta Setiawan untuk membuat perjanjian kerja sama dengan H Langlang terkait usaha tambang pasir.

Perjanjian tersebut disepakati di Rumah Makan Tamansari, Lippo Karawaci, dengan kesepakatan bahwa PT SBM akan membeli peralatan dan izin tambang senilai Rp1,2 miliar yang terletak di Desa Nameng, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.   

Namun, transaksi tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan jajaran direksi lainnya, dan Setiawan langsung mentransfer dana dari rekening PT SBM ke rekening H Langlang.    

“Seharusnya prosedur yang benar adalah dengan mengajukan permohonan ke bagian keuangan, lalu diteruskan ke direksi untuk disetujui. Setelah itu baru bagian keuangan melakukan administrasi pencairan,” jelas Endo.   

Lebih jauh, usaha tambang yang dilakukan PT SBM juga bertentangan dengan akta notaris yang menyatakan bahwa tujuan usaha perusahaan ini hanya mencakup bidang perdagangan, pembangunan, pertanian, jasa, dan industri.

Selain itu, penandatanganan kerja sama tambang tersebut dilakukan tanpa analisis risiko bisnis, studi kelayakan, serta tanpa mengindahkan prinsip kehati-hatian dan asas kepatuhan yang seharusnya diikuti oleh BUMD.   

Terungkap pula bahwa pada saat perjanjian ditandatangani, izin tambang milik H Langlang sudah tidak aktif, dan baru diperpanjang pada 10 Februari 2016.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, disebutkan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) tidak dapat dipindahtangankan.   

Setelah penandatanganan, PT SBM melanjutkan kegiatan pertambangan yang kemudian dihentikan oleh pihak berwenang, seperti Polisi dan Satpol PP, karena masalah perizinan.

Tambang tersebut juga sempat terendam banjir, yang menghambat kegiatan operasional. Upaya kerja sama dengan beberapa pihak lain, seperti saksi Judin dan PT Bahtera Kafa Sagara, juga tidak membuahkan hasil karena berbagai kendala teknis dan finansial.   

Pada 2017, PT SBM melakukan kerja sama baru dengan pemodal Davey Alexander, yang menghasilkan keuntungan sebesar Rp719 juta pada 2017 dan Rp148,6 juta pada 2018.

Namun, kerja sama ini berakhir pada Februari 2018 karena alasan produksi yang tidak menguntungkan.    

Hasil audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Banten menunjukkan bahwa PT SBM mengalami kerugian sebesar Rp833 juta dalam usaha tambang pasir tersebut, yang kemudian berkurang setelah penjualan alat tambang senilai Rp150 juta. Total kerugian negara akibat tindakan terdakwa mencapai Rp683 juta.   

Setiawan, melalui kuasa hukumnya, menyatakan akan mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan tersebut. Sidang akan dilanjutkan pada 9 Desember 2024 mendatang. (Chk) 

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com