Penulis: Abdul Hakim, Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Kota Tangerang

Beritabanten.com – Ketika Andra Soni resmi dilantik sebagai Gubernur Banten pada 20 Februari 2025, suasana politik provinsi itu terasa seperti lembar baru yang akhirnya dibuka setelah dua dekade dominasi politik dinasti. Banten, selama ini, dikenal sebagai laboratorium kecil feodalisme dalam demokrasi: penuh jargon pembangunan, tapi miskin akuntabilitas.

Andra, dengan slogan “Banten Maju, Adil Merata, Tidak Korupsi,” mencoba menawarkan kontrak sosial baru antara pemerintah dan publik: janji pemerintahan yang bersih, transparan, dan melayani. Namun seperti semua pemimpin baru di republik yang sudah lelah oleh kompromi, ia segera berhadapan dengan realitas keras: idealisme hanya bernilai sejauh birokrasi bersedia bergerak.

Dari Slogan ke Struktur

Delapan program unggulan Andra: Banten Bagus, Sehat, Cerdas, Kuat, Indah, Makmur, Ramah, dan Melayani, terdengar seperti daftar slogan biasa di baliho pejabat. Tapi di balik retorika itu, tersimpan upaya untuk menata ulang relasi kekuasaan: dari negara yang memerintah ke negara yang melayani.

Ia mencoba menggeser paradigma birokrasi dari alat kekuasaan menjadi instrumen publik. Namun, reformasi struktural tidak terjadi karena niat baik semata; ia menuntut desain institusi yang memaksa transparansi bekerja, bukan hanya dijanjikan.

Program Bangun Jalan Desa Sejahtera (Bang Andra) menjadi eksperimen pertama. Dengan anggaran sekitar Rp83 miliar untuk membangun 33 kilometer jalan desa, proyek ini bukan hanya urusan beton dan aspal, tapi juga simbol pemulihan kepercayaan sosial. Andra menuntut warga ikut menjaga fasilitas publik, sebuah bentuk co-governance yang, jika serius dijalankan, dapat menjadi langkah awal menuju demokrasi kolaboratif.

Masalahnya adalah partisipasi publik tidak bisa diumumkan lewat pidato; ia harus difasilitasi oleh mekanisme yang hidup. Hingga kini, kanal umpan balik publik masih lemah, transparansi proyek bergantung pada kemauan politik kepala daerah, dan partisipasi warga lebih sering menjadi formalitas ketimbang fondasi kebijakan.

Di sinilah Andra tersandung pada paradoks klasik: bagaimana mempercepat pembangunan tanpa mengorbankan akuntabilitas.

Antara Janji dan Populisme

Secara politik, kemunculan Andra Soni adalah anomali yang menarik. Ia bukan pewaris trah lama, tapi juga bukan seorang revolusioner. Ia memanfaatkan kejenuhan publik terhadap dinasti politik sembari tetap menjaga jarak aman dari elite nasional yang mendukungnya.

Dalam banyak forum, ia mengulang frasa “pemerintahan yang melayani, bukan dilayani.” Retorika ini berhasil menciptakan citra populis yang bersih, seorang teknokrat dengan empati sosial. Namun, populisme administratif punya jebakannya sendiri: ia mudah tergelincir menjadi politik simbolik tanpa struktur partisipasi nyata.

Program “Sekolah Gratis” dan “Makan Bergizi Gratis (MBG)” adalah contoh klasik. Menurutnya, lebih dari satu juta anak di Banten telah menerima manfaat MBG hingga Oktober 2025, dengan target 3,5 juta penerima pada akhir tahun. Secara kuantitatif, kebijakan ini mengesankan. Tetapi angka tidak selalu setara dengan efektivitas.

Sebaliknya, laporan lapangan mengungkap berbagai kendala: keterlambatan distribusi, kualitas makanan yang tidak merata, dan lemahnya pengawasan terhadap penyedia lokal. Tanpa sistem audit sosial dan desain partisipatif, program ini berisiko menjadi alat pencitraan, bukan instrumen keadilan sosial.

Demokrasi partisipatif bukan tentang memberi gratis, melainkan memberi warga ruang untuk mengawasi kebijakan yang mengatasnamakan mereka.

Perubahan dan Resistensi Birokrasi

Tantangan terbesar Andra bukan datang dari oposisi, melainkan dari dalam: resistensi birokrasi. Ia mewarisi mesin pemerintahan yang gemuk, penuh warisan loyalitas transaksional, di mana jabatan lebih sering dibeli dengan kedekatan daripada prestasi. Dalam konteks itu, mendorong meritokrasi hampir setara dengan mengguncang struktur kekuasaan yang sudah mapan selama dua dekade.

Andra mencoba mengubah budaya kerja dengan memperkenalkan sistem evaluasi berbasis kinerja dan audit internal yang lebih ketat. Hasilnya, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024 memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK pada April 2025. Tapi seperti yang sering terjadi di republik ini, WTP lebih sering menjadi kosmetik administratif ketimbang indikator integritas. Laporan bisa rapi sementara praktik tetap keruh.

Dalam menghadapi perlawanan birokrasi, Andra memilih gaya ‘containment leadership’: mengisolasi resistensi ketimbang melawannya secara frontal. Pendekatan ini aman secara politik, tapi berisiko menumpulkan energi reformasi. Ia tidak membersihkan birokrasi secara menyeluruh, melainkan memperketat sistem dan mengandalkan audit.

Strategi ini cerdas di atas kertas, namun kehilangan momentum di lapangan. Reformasi yang terlalu berhati-hati sering berakhir sebagai reformasi yang tidak pernah benar-benar terjadi.

Merebut Kepercayaan yang Hilang

Banten punya luka lama: ketimpangan sosial dan korupsi struktural. Dalam konteks ini, legitimasi moral seorang pemimpin lebih penting daripada angka-angka pertumbuhan.

Program Bantuan Keuangan Rp100 juta per desa di tahun 2025, misalnya, bertujuan memperkuat ekonomi lokal. Namun, di banyak tempat, dana ini justru melahirkan “oligarki kecil” di desa, yaitu konsentrasi kekuasaan baru di tangan segelintir elite lokal. Redistribusi ekonomi tanpa redistribusi kekuasaan hanya akan memperpanjang siklus patronase dalam format yang lebih kecil.

Di sisi ekonomi makro, Andra menargetkan pertumbuhan 8%. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Data menunjukkan hanya sekitar 40% UMKM di Banten memiliki akses ke pembiayaan formal pada 2023.

Tanpa kebijakan afirmatif dan keterlibatan masyarakat sipil dalam evaluasi, pertumbuhan ekonomi hanya akan memperkaya jejaring pengusaha yang dekat dengan pejabat daerah. Dalam ekonomi politik Banten, transparansi bukan sekadar etika, tapi strategi bertahan bagi hidupnya demokrasi.

Politik Aman vs Reformasi Bermakna

Para kritikus menilai Andra “main aman” dengan melanjutkan program lama melalui kemasan baru. Selama delapan bulan pertama, tidak ada gebrakan besar dalam rekrutmen ASN, sistem insentif kinerja, atau digitalisasi data publik. Tidak ada dashboard transparansi yang bisa diakses warga untuk memantau anggaran secara real time.

Bagi sebagian pengamat, ini tanda kehati-hatian berlebihan; bagi Andra, ini strategi untuk menghindari sabotase politik dari dalam. Namun waktu bukan sekutu bagi sosok yang terlalu sabar. Kepercayaan publik, sekali menurun, sulit dipulihkan.

Perubahan membutuhkan hentakan dan simbol-simbol keberanian: publikasi rutin evaluasi proyek, keterbukaan data, atau pemberian akses audit publik terhadap proyek besar seperti MBG dan ‘Bang Andra’. Tanpa itu, Banten hanya akan memiliki pemerintahan “bersih di atas kertas.”

Harapan dan Skeptisisme

Andra Soni mempraktikkan gaya kepemimpinan teknokratis yang tenang, menghindari konflik terbuka dan lebih memilih persuasi dibanding konfrontasi. Gaya ini efektif untuk menjaga stabilitas, tapi lemah dalam menggerakkan perubahan budaya. Banten tidak kekurangan rencana strategis; yang hilang adalah keberanian eksekusi. Ketika reformasi dijalankan terlalu hati-hati, sistem lama punya cukup waktu untuk beradaptasi dan menetralkan ancaman.

Namun, menilai Andra hanya dari delapan bulan pertama adalah tergesa-gesa. Di tengah sistem politik lokal yang penuh patronase, strategi bertahap mungkin lebih realistis daripada revolusi. Ia sedang berjalan di garis tipis antara pragmatisme dan reformasi, menjaga sistem agar tetap stabil dan sambil mendorongnya berubah dari dalam.

Risiko dari posisi ini jelas: terlalu hati-hati, dan publik akan menganggapnya bagian dari sistem lama; terlalu berani, dan birokrasi akan menolaknya dari dalam meski terlihat patuh di permukaan.

Apa yang sedang terjadi di Banten adalah eksperimen tata kelola. Jika berhasil, provinsi ini bisa menjadi model bagaimana demokrasi lokal tumbuh dari reruntuhan dinasti politik. Jika gagal, ia akan kembali menjadi contoh klasik demokrasi administratif: berisik di permukaan, tapi sunyi dalam keputusan publik.

Dalam satu tahun pertamanya, Andra telah menunjukkan beberapa kemajuan: pelayanan publik membaik, laporan keuangan lebih tertib, dan program pembangunan desa mulai berjalan. Tetapi keberhasilan sejati baru bisa diukur ketika masyarakat mulai percaya bahwa pemerintah benar-benar bekerja untuk mereka, bukan sekadar mengelola persepsi mereka. Karena inti dari good governance bukan pada kebersihan birokrasi semata, melainkan pada kemampuan membangun sistem kepercayaan.

Banten, dengan segala paradoksnya, kini menjadi laboratorium bagi demokrasi partisipatif Indonesia. Andra Soni berdiri di persimpangan jalan: antara menjadi gubernur yang aman di atas kertas atau pemimpin yang berani mengguncang akar kekuasaan lama.

Jalan yang ia pilih akan menentukan bukan hanya nasib pemerintahannya, tapi juga arah masa depan tata kelola demokrasi di provinsi yang lama hidup di bawah bayang-bayang warisan dinasti politi.

Jika ia gagal membangun kepercayaan publik, Banten akan tetap menjadi cerita lama dengan wajah baru. Tapi jika berhasil, ia mungkin menulis bab baru tentang bagaimana demokrasi lokal bisa bertahan bukan karena kekuasaan, tapi karena tumbuh dan kuatnya kepercayaan publik. (Red)

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com