Penulis: Dr. Muchlis M. Hanafi MA, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran PSQ Jakarta
Beritabanten.com – Sebelum ada sekolah modern. Jauh sebelum berdiri madrasah Nizhamiyah di Baghdad abad ke-11 M/5 H. Umat Islam sudah punya sistem pendidikan yang matang.
Bahkan akarnya tumbuh ribuan tahun lebih awal dalam tradisi bangsa Arab kuno.
Bayangkan, di Yaman, sekitar abad ke-13 SM, sudah ada sekolah keliling bernama maḥdharah. Bisa pindah-pindah, ikut kafilah. Pelajarannya: baca-tulis, berhitung, sastra, retorika, sampai membaca bintang. Sederhana, tapi efektif.
Tak ada gedung. Tak ada papan tulis. Tapi ada ilmu dan semangat belajar. Gurunya berpindah-pindah. Muridnya pun demikian. Fleksibel.
Begitu Islam datang, pusat belajar pindah ke masjid. Di situ Nabi SAW mengajar. Demikian ulama setelahnya. Membuka ḥalaqah — lingkaran kajian tafsir, hadis, fiqh, logika, bahasa.
Setelah makin ramai, tempat belajar dipisah dari tempat ibadah. Lahirlah madrasah.
Tradisi mahdhara masih lestari hingga kini. Di Mauritania, dari Mahdhara lahir ulama-ulama hebat masa kini. Syeikh Walad Dedew yg terkenal itu salah satunya. Hafalannya kuat-kuat. Berkembang bersama sistem madrasah dan Kuttab (tempat mengaji dan menghafal Al-Qur’an).
Madrasah muncul sekitar abad ke-4 Hijriah. Jauh sebelum Nizham al-Mulk meresmikan sistemnya di Baghdad pada 457 H (1065 M). Ada di Naisabur, Bust, dan Teheran.
Lengkap, ada asrama, guru tetap, dibiayai dana wakaf, dan ruang belajar. Ada madrasah fiqh, madrasah hadis, bahkan madrasah kedokteran yang berdampingan dengan rumah sakit (bimaristan).
Puncaknya Madrasah Mustansiriyyah di Baghdad (631 H/1234 M). ‘Universitas’ besar pada zamannya. Punya 78 kamar asrama, koleksi ribuan buku, dan rumah sakit modern.
Mahasiswa dapat uang saku 2 dinar per bulan, plus buah, sabun, dan minyak. Guru pun bergaji. Rasio guru-murid = 1:12. Kurikulum lengkap: empat mazhab fiqh, bahasa, kedokteran, matematika. Kalau hari ini disebut universitas, itu benar adanya.
Lalu, di mana posisi pesantren? Ia bagian dari mata rantai tradisi panjang itu. Ciri-cirinya mirip; ada guru tetap (kiai), santri mukim, masjid sebagai pusat halaqah, dan kitab klasik.
Bedanya, pesantren tumbuh di tanah Nusantara. Menyerap budaya lokal; gotong royong, tradisi kampung, dan peran sosial.
Jangan bayangkan pesantren lembaga tradisional yang tertinggal. Bayangkan ia sebagai warisan panjang. Dari peradaban Islam. Dari maḥdharah di gurun Yaman, madrasah di Baghdad, hingga hidup kembali di pelosok Indonesia.
Bentuknya mungkin berubah dan bisa berbeda. Tetapi, ruhnya tetap sama; menyalakan ilmu, menanamkan adab. (Red)
Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com


Tinggalkan Balasan