Penulis: Dr. Muchlis M. Hanafi MA, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran PSQ Jakarta

Beritabanten.com – Saya baru saja diobati. Dengan cara tak biasa. Bara api. Namanya Topu Bara. Tradisi pengobatan dari Maluku yang diwariskan turun-temurun.

Awalnya saya ragu. Tapi setelah mencoba, hasilnya luar biasa. Bagian tubuh yang selama ini nyeri langsung terasa ringan. Rasanya seperti disentuh api, tapi tanpa terbakar.

Yang menanganinya seorang pegawai bidang Haji Kemenag Maluku. Pak Akrom namanya. Sudah banyak tokoh besar ygan dia tangani. Sangat profesional.

Malam itu, dengan tenang ia siapkan arang kecil di tungku tanah; panaskan daun pisang agar lentur, tidak mudah robek; lalu taruh bara di antara beberapa lapis daun.

Setelah dioles minyak kelapa, daun itu ditempelkan ke bagian tubuh yang sakit. Pun setelah dilumuri minyak. Bila titiknya pas, terasa panasnya. Perlahan sakit berkurang, seiring berkurang panasnya. Tiga kali itu diulang. Nyeri yang lama mengendap seperti hilang disapu bara.

Topu Bara atau Talou sudah dikenal lama. Di pesisir Ambon dan Maluku Tengah. Khususnya di Desa Liang. Akrom bersal dari sana. Bahannya sederhana: bara api, daun pisang, dan minyak kelapa. Tiga unsur alam yang berpadu. Bekerjasama menyembuhkan. Api lambang kekuatan; daun pisang simbol kesejukan; minyak kelapa penenang alami. Sebuah kearifan lokal bumi nusantara.

Ternyata, pengobatan dengan panas bukan hanya milik Maluku. Dalam peradaban kuno, bangsa Yunani dan Romawi mengenal cauterization. Pengobatan luka dengan besi panas untuk menghentikan pendarahan.

Di Tiongkok, prinsip serupa dikenal dalam teknik moxibustion, yaitu pembakaran daun mugwort di atas kulit untuk melancarkan energi tubuh. Di Rusia, atas undangan Mufti Tatarstan, di sebuah Sauna, di tengah musim dingin ekstrem, saya pernah rasakan. Dedaunan dengan tetesan air hangat pun jadi wasilah relaksasi.

Dalam tradisi Islam, Nabi SAW menyebut pengobatan dgn api (bil-kayyi) sebagai salah satu bentuk terapi yang bisa bermanfaat. Meski, beliau sendiri tidak menyukainya. Rasulullah bersabda:

“Kesembuhan itu ada pada tiga hal: sayatan alat bekam, minuman madu, dan sentuhan api; tetapi aku tidak menyukai untuk diobati dengan kayyi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Banyak sahabat melakukannya, dan Nabi membenarkan. Artinya: selama aman dan tidak berlebihan, api bisa jadi wasilah penyembuhan. Dlm dunia medis Islam, Ibnu Sina (Avicenna) juga lakukan itu.

Kita sering lupa, pengobatan tradisional bagian dari perjalanan panjang peradaban manusia dalam mencari kesembuhan.

Dari batu panas di Yunani, jarum di Tiongkok, sampai bara dalam daun pisang di Ambon. Semuanya lahir dari interaksi manusia terhadap alam. Kearifan lokal selalu mencari harmoni. Antara panas dan dingin, keras dan lembut, sakit dan sembuh.

Mungkin di situlah letak keajaiban Topu Bara. Ia bukan sekadar teknik medis, tetapi bentuk ikhtiar yg disertai doa. Di tangan orang seperti Pak Akrom, api menjadi sahabat, bukan ancaman. Ia tidak membakar tubuh, tapi memadamkan rasa sakit. Di balik bara ada keikhlasan. Dari situ mengalir energi penyembuhan.

Malam itu saya pulang dengan tubuh lebih ringan. Sambil merenung. Kita boleh mempelajari ilmu modern sejauh apa pun, tapi jangan pernah kehilangan rasa hormat pada kearifan bumi tempat kita berpijak.

Terkadang, kesembuhan tidak datang dari laboratorium. Tapi, dari selembar daun pisang yang membungkus bara api. Hanya ahlinya yg bisa melakukan. (Red)

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com