Penulis: Abdul Hakim, Pengajar Perbandingan Politik
STISNU Kota Tangerang
Beritabanten.com – Dalam lanskap politik Indonesia kontemporer, sosok Immanuel Ebenezer Gerungan menghadirkan sebuah potret menarik tentang bagaimana elit politik dapat muncul, bertahan, dan tumbang di luar jalur konvensional partai politik mapan.
Ia bukan kader partai yang ditempa sejak awal dalam disiplin organisasi; bukan pula teknokrat hasil didikan universitas bergengsi yang membawa legitimasi akademik.
Karier politiknya dibangun dari politik komunitas berbasis euforia massa, sebuah pola yang semakin menonjol di era pasca-Reformasi.
Komunitas seperti Jokowi Mania, Ganjar Mania, hingga Prabowo Mania menjadi wadah utama bagi karier politik Immanuel.
Dari sudut pandang ilmu politik, ini menandakan pergeseran cara produksi elit di Indonesia.
Jika pada masa Orde Baru, jalur menuju kekuasaan dikontrol ketat melalui birokrasi, partai tunggal dominan, atau jaringan militer, maka era Reformasi membuka jalan baru: elit dapat muncul lewat mobilisasi massa berbasis fanatisme personalitas.
Figur seperti Immanuel menunjukkan bahwa politik identifikasi tokoh—bukan politik gagasan—telah menjadi sumber utama legitimasi.
Untuk memahami fenomena ini, teori klasik Vilfredo Pareto tentang ‘circulation of elites’ relevan digunakan. Menurut Pareto, setiap masyarakat memiliki mekanisme regenerasi elit, di mana kelompok yang berkuasa akan digantikan oleh kelompok baru yang lebih adaptif.
Kompetisi Ideologis
Namun, dalam konteks Indonesia, sirkulasi ini tidak berlangsung melalui kompetisi ideologis atau meritokratis, melainkan melalui pragmatisme ekstrem.
Immanuel Ebenezer menjadi contoh tipikal dari “elit cair” yang menembus lingkaran kuasa bukan karena konsistensi gagasan, tetapi karena kelicinan manuver.
Perpindahan cepat dari satu kubu ke kubu lain bukanlah penyimpangan, melainkan justru cerminan dari logika politik Indonesia yang memberi insentif pada fleksibilitas oportunis.
Dalam kerangka Mosca, ini dapat dilihat sebagai strategi elit minoritas untuk mempertahankan dominasi atas mayoritas dengan cara menyesuaikan diri pada konfigurasi kekuasaan yang berubah-ubah.
Namun, kelicinan ini menyimpan paradoks. Basis dukungan yang dibangun di atas euforia sementara bersifat rapuh. Mobilisasi massa berbasis fanatisme personalitas tidak memberikan fondasi ideologis yang kuat.
Akibatnya, ketika seorang figur seperti Immanuel menghadapi guncangan integritas—baik berupa tuduhan hukum, kehilangan momentum politik, atau perubahan konstelasi kekuasaan—legitimasi dapat runtuh dengan cepat.
Kemampuan Politisi Oportunis
Fenomena lain yang menarik adalah kemampuan politisi oportunis untuk bangkit kembali setelah jatuh. Dalam politik Indonesia, reputasi yang rusak jarang menjadi akhir karier. Publik dengan memori politik yang pendek dan struktur politik yang permisif sering memberi ruang bagi “kebangkitan” figur-figur yang sebelumnya tumbang.
Dalam perspektif political survival, hal ini bisa dijelaskan melalui dua faktor. Pertama, kultur politik patrimonial di Indonesia membuat loyalitas lebih sering diarahkan pada figur ketimbang ide. Selama figur itu mampu menemukan patron baru, ia dapat kembali ke lingkaran kekuasaan meski sudah kehilangan kredibilitas.
Kedua, keterbatasan institusionalisasi partai politik menciptakan ruang kosong yang bisa diisi oleh politisi cair. Karena partai tidak mampu menjadi filter ideologis atau etis, politisi seperti Immanuel selalu menemukan celah untuk masuk kembali.
Inilah mengapa publik bisa menyaksikan fenomena “mati berkali-kali, hidup kembali.” Bagi sebagian orang, hal ini tampak seperti ketabahan; namun bagi analisis sosiologi politik, ini tak lebih dari gejala dari kegagalan sistem politik dalam menegakkan standar integritas.
Puncak Gunung Es
Kasus Immanuel Ebenezer sebetulnya hanyalah puncak dari gunung es yang lebih besar: paradoks politik Indonesia pasca-Reformasi. Di satu sisi, sistem demokrasi membuka peluang lebih luas bagi munculnya figur-figur baru di luar elit tradisional.
Tetapi di sisi lain, lemahnya institusionalisasi partai, pendeknya memori publik, dan dominasi politik berbasis figur menyebabkan yang muncul justru elit-elit cair yang rapuh.
Dalam kondisi ini, konsistensi gagasan sering kali dipandang sebagai kelemahan. Seorang politisi yang teguh pada prinsip mudah dicap “kaku” atau “tidak relevan.” Sebaliknya, mereka yang cepat menyesuaikan diri dianggap strategis. Dengan kata lain, politik kita memberi ganjaran pada kelincahan oportunis, bukan pada keteguhan integritas.
Immanuel Ebenezer, dengan segala transformasi dari satu mania ke mania lain, hanyalah satu contoh dari pola besar. Ia bukan anomali, melainkan representasi dari cara kerja elit politik Indonesia saat ini.
Bergerak Lincah dan Licin
Sebagai belut politik di kolam keruh, ia bergerak lincah, licin, dan selalu menemukan celah untuk bertahan.
Namun, sebagaimana setiap belut, ia juga hidup dalam ketidakpastian: setiap saat bisa ditangkap, dipersekusi, atau sekadar kehilangan tempat bersembunyi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih lebih sibuk memproduksi elit cair daripada membangun elit bermutu.
Dan selama integritas tidak menjadi prasyarat, publik akan terus dipertontonkan drama politik yang penuh akrobat, di mana figur seperti Immanuel bisa naik cepat, jatuh lebih cepat, lalu bangkit lagi—semua tanpa pernah menyelesaikan problem mendasar bangsa.
Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com
Tinggalkan Balasan