Penulis: Abdul Hakim, Pengajar Studi Perbandingan Politik STISNU Kota Tangerang
Beritabanten.com – Politik Indonesia pasca-2024, tampak bergeser dari kontestasi ide menjadi teater personalitas.
Prabowo Subianto naik ke tampuk kekuasaan dengan retorika kebangsaan yang memukau dan gaya populis yang tegas, publik melihat bukan hanya pergantian pemimpin, melainkan perubahan paradigma.
Politik tak lagi semata soal ideologi kiri atau kanan, nasionalis atau liberal, melainkan soal siapa yang mampu memanifestasikan kehendak rakyat dalam figur tunggal: sang ‘strongman’.
Dalam lanskap ini, demokrasi tampak masih hidup secara prosedural, tetapi semangat deliberatifnya mulai digantikan oleh pesona kepemimpinan yang karismatik dan sentralistik.
Fenomena ini bukan milik Indonesia saja. Dari Donald Trump di Amerika, Jair Bolsonaro di Brasil, hingga Viktor Orbán di Hungaria dan Giorgia Meloni di Italia, dunia menyaksikan kebangkitan figur-figur kuat yang mengeklaim diri sebagai suara “rakyat sejati” melawan “elit korup”.
Namun beragam studi menunjukkan, dukungan terhadap “strongman populists” bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan publik terhadap status quo.
Ia merupakan transformasi psikologis dan kultural yang lebih dalam: dari populisme anti-establishment yang demokratis menjadi populisme otoritarian yang menuntut kepatuhan.
Dua Wajah Populisme
Dalam wacana politik arus utama, populisme sering dipandang sebagai satu entitas yang utuh, sebuah perlawanan terhadap elit dan sistem. Namun, realitas membuktikan bahwa populisme sejatinya memiliki dua wajah yang sangat berbeda.
Wajah pertama adalah ‘anti-establishment populism’, gerakan pro-demokrasi yang lahir dari kekecewaan terhadap lembaga politik yang dianggap tidak representatif.
Para pendukungnya menuntut lebih banyak partisipasi rakyat, transparansi, dan pemimpin yang mendengar suara mayoritas.
Wajah kedua jauh lebih gelap: ‘authoritarian populism’.
Dalam varian ini, rakyat justru menaruh kepercayaan absolut pada figur kuat yang diyakini mampu menegakkan ketertiban, mengekang kebebasan oposisi, dan “membersihkan” sistem dari musuh-musuh bangsa.
Daya tarik para ‘strongmen’ tidak berakar pada cita-cita demokrasi, melainkan pada “pesona pemerintahan yang tegas dan otoriter.”
Dengan data survei dari sembilan negara di Eropa, Amerika, dan Amerika Latin, kita menyaksikan bahwa dukungan terhadap pemimpin populis di enam negara, termasuk Italia, Hungaria, Polandia, Brasil, Argentina, dan Spanyol, lebih banyak digerakkan oleh sikap otoritarian ketimbang anti-establishment.
Hanya di Kanada dan Prancis, populisme anti-sistem masih menjadi pendorong utama.
Kesimpulannya mencemaskan: mayoritas pemilih populis tidak mendukung pemimpin mereka karena dianggap pembela demokrasi, tetapi karena diyakini mampu “melangkahi” mekanisme demokrasi itu sendiri demi menegakkan kehendak rakyat mayoritas.
Populisme selalu mengandung paradoks: ia datang dengan janji untuk memulihkan suara rakyat, tetapi sering berakhir dengan mempersempit ruang rakyat untuk bersuara.
Para pemimpin populis memanfaatkan frustrasi publik terhadap lembaga demokrasi untuk meraih kekuasaan, namun setelah berkuasa, mereka justru mengikis lembaga-lembaga yang menopang demokrasi itu sendiri.
Kasus-kasus di Eropa Timur menjadi ilustrasi ekstrem. Viktor Orbán di Hungaria dan Andrzej Duda di Polandia menggunakan retorika “kehendak rakyat” untuk menjustifikasi pelemahan yudikatif, pembatasan media independen, dan pengendalian oposisi.
Pola yang sama muncul di Amerika Latin di bawah Bolsonaro dan kini di Argentina dengan Javier Milei, yang menjual retorika anti-elit tetapi memusatkan kekuasaan pada eksekutif.
Di titik inilah muncul konsep yang disebut para pemikir politik sebagai ‘the populist paradox”: kontradiksi mendasar antara retorika demokratis dan praktik otoritarian.
Rakyat yang awalnya menyerukan lebih banyak partisipasi justru mendukung sistem yang lebih tertutup dan hierarkis, selama dipimpin oleh figur yang dianggap “kuat dan tulus”.
Fenomena ini menegaskan bahwa populisme bukanlah ideologi tunggal, melainkan ekspresi psikologis dari ketegangan antara kebutuhan akan kebebasan dan kerinduan akan ketertiban.
Daya Tarik Sang Pemimpin
Mengapa publik rela mendukung pemimpin yang membatasi kebebasannya sendiri?
Jawaban atas pertanyaan ini menjadi jelas lewat konsep ‘authoritarian populist attitudes’, suatu pola pikir yang mengutamakan “kehendak mayoritas” di atas hak-hak minoritas, memuja ketegasan pemimpin, dan menilai bahwa keputusan cepat lebih penting daripada deliberasi.
Para pendukung ‘strongman’ sering kali memiliki ketakutan kolektif terhadap ketidakpastian sosial, globalisasi, dan perubahan nilai.
Dalam konteks ini, sosok pemimpin kuat menawarkan rasa aman dan stabilitas moral. Ia bukan sekadar kepala pemerintahan, melainkan simbol ketertiban yang hilang.
Dalam survei di sembilan negara di Eropa, Amerika, dan Amerika Latin, pertanyaan seperti “Apakah Anda setuju bahwa memiliki pemimpin kuat lebih baik bagi negara, bahkan jika ia harus mengambil keputusan yang dipertanyakan?” menunjukkan korelasi signifikan dengan dukungan terhadap pemimpin populis kanan.
Bahkan, di beberapa negara, dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi justru berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan pada “pemimpin kuat”.
Dengan kata lain, masyarakat tidak hanya lelah dengan elit politik; mereka lelah dengan demokrasi itu sendiri, terutama ketika demokrasi dianggap lamban, ambigu, dan tak mampu menjamin keadilan sosial.
Populisme dengan Baju Nasionalisme
Indonesia hari ini memantulkan banyak elemen dari temuan di atas.
Di bawah kepemimpinan yang menggabungkan populisme dengan nasionalisme militeristik, batas antara aspirasi rakyat dan kultus individu semakin kabur.
Prabowo, misalnya, tampil sebagai figur yang menolak politik teknokratis masa lalu dan mengembalikan politik pada “kehendak rakyat” yang sederhana dan langsung.
Namun retorika ini, seperti halnya pada Bolsonaro atau Orbán, mengandung paradoks. Seruan “rakyat berdaulat” disertai dengan penguatan kendali negara terhadap masyarakat sipil dan lembaga pengawasan.
Rakyat diposisikan bukan sebagai peserta deliberatif, melainkan sebagai penonton yang memberi mandat moral kepada sang pemimpin untuk bertindak atas nama mereka.
Dalam konteks ini, populisme Indonesia pasca-2024 cenderung bergeser dari ‘anti-establishment populism’ menuju ‘authoritarian populism’: dari protes terhadap elit menuju pembenaran atas kekuasaan yang terpusat.
Sentimen anti-liberal, curiga terhadap oposisi, dan glorifikasi militer sebagai simbol ketertiban memperkuat pola tersebut.
Seperti di banyak negara lain, populisme Indonesia hari ini bukan lagi tentang memperluas partisipasi, tetapi tentang menertibkan rakyat di bawah satu kehendak nasional yang dianggap tunggal dan suci.
Fenomena ini juga selaras dengan pergeseran sumbu politik global: dari ideologi kiri–kanan menuju sumbu baru, antara demokrasi liberal dan otoritarianisme populis.
Ketika kepercayaan terhadap institusi menurun dan kesenjangan sosial melebar, masyarakat cenderung mencari jalan pintas politik: pemimpin kuat yang mampu “menyelesaikan semuanya”.
Masalahnya otoritarianisme populis selalu datang dengan janji efisiensi, tetapi mengorbankan prinsip akuntabilitas.
Di sisi lain, demokrasi liberal dibangun atas ketidaksempurnaan: keterbukaan terhadap kritik, perdebatan, dan kompromi. Namun bagi banyak orang, justru sifat “lamban dan bising” inilah yang dianggap cacat.
Maka, lahirlah ilusi bahwa hanya seorang pemimpin kuat yang bisa menegakkan keadilan sosial. Padahal, sejarah menunjukkan, kekuasaan yang dipusatkan dengan dalih efisiensi hampir selalu berujung pada represi.
Penting dicatat, terdapat perbedaan mendasar antara populisme dengan otoritarianisme.
Dalam bentuknya yang murni, ‘anti-establishment populism’ bisa berfungsi sebagai koreksi terhadap demokrasi yang stagnan, sebuah “politik harapan”, meminjam istilah Margaret Canovan. Ia mengingatkan elit bahwa legitimasi politik datang dari rakyat, bukan dari teknokrat atau pasar.
Namun, ketika populisme kehilangan semangat egaliternya dan berubah menjadi kultus pemimpin, maka ia menjadi ancaman bagi demokrasi.
Pergeseran ini bukan anomali, melainkan konsekuensi logis dari ketegangan internal populisme itu sendiri: keinginan untuk memberdayakan rakyat, tetapi lewat figur tunggal yang menafsirkan kehendak rakyat.
Membawa Anti-Sistem ke Dalam Sistem
Jonathan Hopkin, dalam kajiannya tentang ‘anti-system politics’, menyarankan bahwa jalan keluar dari kebuntuan ini bukanlah dengan menolak populisme, melainkan dengan “membawa sebagian anti-sistem ke dalam sistem”.
Demokrasi harus kembali responsif terhadap aspirasi masyarakat bawah tanpa menyerahkan kendali pada otoritarianisme.
Dalam konteks Indonesia, itu berarti membangun institusi yang tidak hanya efisien, tetapi juga empatik, yang mampu mendengar frustrasi rakyat tanpa harus mempersonifikasikannya dalam satu figur penyelamat.
Karena jika tidak, seperti yang sering terjadi, populisme akan terus bertransformasi menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang tidak lagi demokratis.
Politik dunia kini bergerak di antara dua ekstrem: keinginan untuk “mengembalikan suara rakyat” dan kebutuhan untuk “mengendalikan rakyat.”
Di tengah polarisasi dan kelelahan demokrasi, publik mencari kejelasan moral yang sederhana dan menemukan jawabannya pada figur-figur kuat yang menjanjikan disiplin, bukan deliberasi.
Namun sejarah politik mengajarkan: demokrasi mati bukan karena kudeta, melainkan karena rakyat berhenti mempercayai dirinya sendiri.
Saat rakyat menggantungkan harapan pada satu figur kuat, maka demokrasi perlahan menyerahkan nyawanya secara sukarela.
Populisme bukan sekadar gejala protes, melainkan cermin dari krisis kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Indonesia kini berdiri di persimpangan yang sama, antara harapan rakyat dan disiplin negara, antara demokrasi yang riuh dan stabilitas yang tenang.
Pertanyaannya kini, sampai kapan demokrasi bisa bertahan ketika rakyat lebih mencintai ketertiban ketimbang kebebasan? Kita semua menanti dengan penuh kecemasan.
Dan selamat datang demokrasi fogur tunggal! (Red)
Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com


Tinggalkan Balasan