Beritabanten.com – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta menjadi tuan rumah Focused Group Discussion (FGD) mengenai revisi Undang-Undang Pemilu, dihadiri 23 dosen dan pakar politik dari berbagai PTKIN dan universitas Islam Internasional Indonesia. Forum ini menjadi ruang strategis bagi kalangan akademik untuk menilai arah demokrasi Indonesia pasca-reformasi.
Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tampil memberikan paparan reflektif tentang arah baru demokrasi elektoral Indonesia.
Tholabi membuka diskusi dengan menyampaikan pandangan bahwa sistem politik yang ada lebih banyak mempertahankan rutinitas prosedural ketimbang menghidupkan nilai-nilai etik konstitusi. “Kita memang memilih secara bebas,” ujarnya, “tetapi kebebasan itu tak lagi melahirkan nilai-nilai yang ideal.”
Ia menegaskan, revisi UU Pemilu merupakan momentum besar untuk menata ulang sistem politik agar lebih rasional, adil, dan bermartabat. Bagi Tholabi, perubahan undang-undang bukan sekadar soal teknis penyelenggaraan pemilu, melainkan soal keberanian bangsa untuk mengembalikan demokrasi pada rel kedaulatan rakyat.
Secara substantif, Tholabi mendorong kodifikasi hukum pemilu, mengintegrasikan seluruh norma nasional dan lokal ke dalam satu payung hukum yang konsisten. Menurutnya, pendekatan ini akan memperkuat kepastian hukum dan koherensi institusional, sebagaimana disarankan Giovanni Sartori tentang pentingnya institutional coherence. Dengan kodifikasi, sistem kepemiluan Indonesia dapat menjadi “kitab hukum pemilu” yang utuh, transparan, dan mudah dipahami publik.
Selain itu, ia menyoroti perdebatan klasik sistem pemilu proporsional terbuka versus tertutup. Tholabi mengusulkan jalan tengah berupa sistem proporsional semi-terbuka, yang memungkinkan rakyat tetap memilih calon legislatif secara langsung, namun dengan daftar calon yang sudah melalui seleksi internal partai secara transparan dan meritokratis. Menurutnya, model ini menjaga keseimbangan antara partisipasi rakyat dan tanggung jawab partai politik, serta menekan biaya politik yang selama ini amat tinggi.
Dalam konteks ambang batas parlemen, Tholabi mengusulkan agar parliamentary threshold diturunkan menjadi 2,5–3 persen. Ia menilai, ambang batas empat persen yang berlaku saat ini telah menghanguskan jutaan suara rakyat dalam Pemilu 2024. “Lebih dari 17 juta suara rakyat tidak dihitung karena partai mereka tidak lolos ambang batas. Demokrasi kehilangan nilai ketika suara rakyat dianggap tidak bernilai hanya karena tidak melampaui angka administratif empat persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, prinsip dasar demokrasi harus mengakui kesetaraan nilai setiap suara (one person, one vote, one value). Karena itu, penurunan ambang batas merupakan langkah korektif terhadap ketimpangan representasi sekaligus upaya memperkuat legitimasi hasil pemilu.
Tholabi juga menyoroti isu paling serius dalam praktik elektoral Indonesia, yakni politik uang. Ia menyebut fenomena vote buying bukan lagi pelanggaran individual, melainkan strategi sistemik yang mengancam integritas demokrasi. Mengutip Pippa Norris dan Larry Diamond, ia menyebut gejala ini sebagai “sisi gelap demokrasi elektoral”, di mana kekuasaan uang menggantikan kekuasaan suara.
Untuk itu, ia menyerukan tiga langkah reformasi. Pertama, memperkuat kewenangan Bawaslu melalui mekanisme quick adjudication system agar pelanggaran politik uang bisa ditangani cepat dan efektif. Kedua, digitalisasi laporan dana kampanye agar publik dapat mengawasi sumber dan penggunaan dana secara transparan. Ketiga, mendorong partai politik menyelenggarakan pendidikan politik berkelanjutan, tidak hanya menjelang pemilu.
FGD juga menghasilkan sejumlah rekomendasi resmi yang akan disampaikan ke DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu.
Tholabi menutup forum dengan pesan moral yang menegaskan kembali makna demokrasi. Menurutnya, revisi UU Pemilu harus menegakkan kedaulatan rakyat, bukan sekadar kompromi kekuasaan.
“Hukum pemilu bukan sekadar kumpulan pasal, tetapi kontrak moral antara negara dan rakyatnya. Demokrasi hanya akan bermartabat bila kekuasaan tunduk pada etika, dan rakyat diperlakukan sebagai subjek, bukan objek kekuasaan,” ujarnya.
Melalui forum ini, UIN Jakarta dan kampus-kampus Islam menegaskan peran pentingnya dalam menjaga kualitas demokrasi nasional. Revisi UU Pemilu, sebagaimana diserukan Tholabi, bukan sekadar pekerjaan legislatif, melainkan ikhtiar membangun peradaban politik yang berkeadilan dan bermoral. (Red)
Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News Beritabanten.com
Tinggalkan Balasan