ASN yang maju di pilkada tidak cukup mengundurkan diri saat dicalonkan. Sebab sebelum itu sangat mungkin mereka menggunakan statusnya untuk kepentingan pribadi.
Sekretaris Daerah Tangerang Selatan (Tangsel), Muhamad, berencana maju dalam Pilkada Tangsel 2020. Ia lalu mengundurkan diri sebagai jabatan aparatur sipil negara (ASN) enam bulan sebelum hari pencoblosan, 9 Desember.
Muhamad akan didampingi oleh Saraswati Djojohadikusumo, keponakan Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
ASN memang harus mengundurkan diri secara tertulis sejak ditetapkan sebagai calon dalam pemilihan umum berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, juga Pasal 4 ayat (1) u Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2020.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) Titi Anggraini, syarat mengundurkan diri itu tidak cukup. Dalam kasus di atas, Titi menduga si calon sudah melakukan komunikasi politik dengan partai pengusung ketika masih menjadi ASN–sikap yang dinilai keliru.
“Seorang ASN yang masih aktif, apalagi menjabat posisi struktural penting namun sudah melakukan komunikasi politik dengan partai-partai untuk kepentingan pencalonannya di pilkada, jelas merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip netralitas berdasar UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN,” kata Titi sebagaimana dilansir dari Tirto, Selasa (28/7/2020) pagi.
Muhamad diusung lewat surat rekomendasi pada 20 Juli lalu, dan dia baru mengatakan akan mundur pada 27 Juli 2020. Titi menduga minimal selama tujuh hari terakhir ia berkomunikasi intensif dengan partai politik. Ini belum termasuk komunikasi yang dilakukan sebelum namanya resmi diusung. Menurutnya aktivitas politik Muhamad sebagai ASN sudah sangat kasat mata.
Titi lantas mendesak Bawaslu RI, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memberi sanksi kepada semua ASN yang berlaku seperti Muhamad. Sebab, jika dibiarkan, “maka kualitas demokrasi kita menjadi terancam dan kredibilitas Pilkada 2020 jadi pertaruhannya.”
“Pilkada di masa pandemi ini biayanya cukup mahal, mestinya tidak dipertaruhkan dengan perilaku tidak jujur dan adil dari para calon. Jangan sampai ditampilkan ironi perilaku ASN yang aktif bermanuver politik tapi sama sekali tidak ada sanksi,” Titi menegaskan.
Titi lantas mengatakan revisi PKPU yang mengharuskan ASN mundur saja tidak cukup. Ia menilai UU Pemilu juga harus diubah.
Ia mengusulkan ASN, polisi, dan TNI, harus mundur dari jabatannya minimal satu tahun sebelum pencalonan. Ini kudu dilakukan untuk memastikan pilkada berjalan setara, juga untuk “menghindari patgulipat dan ketidaknetralan ASN saat proses komunikasi politik untuk mencari dukungan pencalonan ke partai-partai. Pasti proses itu berlangsung cukup lama sebelum pendaftaran calon dibuka.”
“Ini juga untuk menghindari proses pencalonan yang injury time atau serba mendadak dan bisa jadi kental aroma politik transaksional,” tambahnya.